Minggu, 02 Juni 2013

Kelompok Gangster Berubah Menjadi Pesamuan Kolam Teratai 021


Bara api berubah menjadi teratai merah (bagian 1)

Kisah Perjuangan Wang Xue-qin


Hati dan pemikiran kita dapat mengubah kehidupan dan nasib, bisa menyebabkan kita menjadi insan awam yang menderita dan suka mengeluh, atau Bodhisattva yang bersukacita.


“Saya sangat beruntung karena kehilangan satu kaki, barulah dapat mendengar Buddha Dharma............”


Ada seorang seniorku yang bernama Wang Xue-qin, di usianya 30 lebih karena menderita kanker tulang sehingga salah satu kakinya harus diamputasi, dan karena para dokter menganggap bahwa kanker tulangnya tergolong ganas, maka dokter memprediksi hidupnya sulit bertahan untuk satu tahun ke depan, namun di luar dugaan selama 10 tahun ini dia masih baik-baik melafal Amituofo, dan memberi motivasi kepada orang lain. Dia telah menjalani operasi sebanyak 22 kali, tidak hanya harus kehilangan satu kakinya, dan satu bagian paru-parunya juga harus dipotong, namun yang mengharukan adalah ketika kehilangan satu kakinya, dia berkata padaku : “Saya sungguh beruntung, karena harus kehilangan satu kaki, baru memiliki kesempatan mendengar Dharma, bila sebaliknya tidak memiliki kesempatan mendengar Buddha Dharma, entah berapa banyak karma buruk yang akan saya perbuat lagi, kelak tidak tahu berapa banyak siksaan yang harus saya derita lagi!


Demi memohon Dharma memotong lengan sendiri


Pada jaman dahulu ada seorang sesepuh Zen yang bernama Hui-ke, dia ingin memohon Dharma pada Master Zen Bodhidharma, sehingga rela memotong satu lengannya. Hari ini pula saya mendengar bahwa ada yang berkata padaku rela memotong satu kaki demi mendengar Buddha Dharma, sungguh mengharukan, malah menganggap diri sendiri sungguh beruntung, sehingga saya merasa amat malu, saya belajar Buddha Dharma, kesempatan mendengar Buddha Dharma datangnya begitu mudah, maka itu saya tidak memiliki hati yang serupa dirinya.


Kekayaan berlimpah tidak dapat meringankan penderitaan, juga tidak dapat melapangkan pikiran.


Dia memberitahukan saya bahwa sesungguhnya dia memiliki kepribadian yang sangat tegas,  boleh dikatakan “sangat galak”, bila sedang emosi, dia bisa melemparkan batu ke orang lain, ketika belum diserang penyakit, setiap harinya hanya sibuk mencari uang, pernah ada yang menasehatinya melafal Amituofo, dia akan balas menjawab : “Orang tolol baru melafal Amituofo, tidak mencari uang buat apa melafal Amituofo”. Ketika penyakit menyerangnya, barulah menyadari berapa pun banyak uang yang diperoleh juga tidak cukup digunakan, bukan hanya itu, berapa pun kekayaan yang dimiliki juga tidak dapat meringankan penderitaannya. Berapa pun harta yang diperoleh juga tidak bisa membantu melapangkan pikiran, tidur nyenyak, berapa pun banyak uang yang dimilikinya juga tak mampu menghalangi niatnya untuk bunuh diri.


 Hati yang gelisah, ingin bunuh diri, sel kanker menyebar dengan cepat.


Ketika pertama kali dia divonis menderita kanker tulang, dokter bertanya padanya : “Apakah anda tahu bahwa penyakit yang anda derita adalah kanker?” Dia menjawab:”Saya mengetahuinya, namun sejak awal saya tak pernah mengira akan menderita kanker jenis tulang ini!”  Siapa yang dapat meramal bahwa babak kehidupan yang paling menderita bisa menimpa diri sendiri? Pikirannya jadi sempit, ketika kamar pasien sedang tidak ada yang jaga, maka dia segera mengambil pisau buah dan ingin mengakhiri hidupnya, namun kebetulan suster datang, melihat tindakannya itu segera bertanya : “Apa yang ingin anda lakukan?”. Dia menjawab dengan tak berdaya : “ Tidak apa-apa, saya hanya ingin mengupas buah”. Namun suster juga tahu apa kehendak hatinya, karena pasien memang amat menderita, ingin mengakhiri nyawa serta penderitaannya, hal ini merupakan kejadian yang sulit dihindari.

Saat itu dia belum pernah mendengar Buddha Dharma, karena itu pemikirannya selalu buntu pada pikiran sempit tersebut. Dia berpikir : “Karena sakit maka harus terbaring di rumah sakit, satu sen pun tak bisa kuhasilkan, tubuhnya sendiri juga tak bisa leluasa bergerak, hidup pun terasa tak bermakna!. Kemudian dia berusaha keluar dari rumah sakit, namun akhirnya masuk kembali ke rumah sakit lainnya, hanya dalam waktu beberapa bulan saja, karena pikirannya sangat risau, maka sel kanker menyebar dengan cepat, sehingga harus segera dilakukan operasi.


Pendarahan besar, satu kakinya terpaksa diamputasi.....


Suatu hari pembuluh darah besar di kakinya pecah sehingga terjadi pendarahan besar, cairan darah memenuhi permukaan lantai, maka itu dengan terpaksa satu kakinya harus diamputasi! Bayangkan seorang gadis muda yang sangat suka berdandan, bagaimana bisa menerima kenyataan harus kehilangan sebuah kaki dan menjadi cacat, kenyataan yang begitu tragis ini? Penderitaan nya ini dapat kita bayangkan betapa kesengsaraan yang dia alami.


Ceramah dari Master Guang-qin


Syukurlah tetangganya adalah seorang suster yang juga belajar ajaran Buddha, ketika mengetahui kondisi penyakitnya segera menasehatinya untuk belajar Buddha Dharma. Kemudian ketika dia menjalani terapi pemulihan di rumah sakit, kebetulan berpapasan dengan Master Guang-qin yang juga sedang diopname di rumah sakit yang sama, dia juga melihat Master tidak bisa leluasa bergerak, harus memegang tongkat, walaupun demikian, penampilan Master penuh dengan citra wibawa seorang praktisi sejati, bukan karena tak leluasa bergerak maka harus tampak begitu risau. Tiba-tiba dia berpikir : “Ternyata bukan saya saja yang pincang, Master yang begitu berwibawa juga harus memegang tongkat, maka itu dia segera menghampiri dan meminta wejangan dari Master.


Master Guang-qin menceritakan tentang masa lalunya, ketika beliau belum menjadi anggota Sangha, beliau pernah bekerja di ketentaraan, dia suka makan daging, setiap tiba di sebuah dusun maka akan menghabiskan semua ternak di sana, kemudian dia melihat roh ternak yang pernah dimakannya datang meminta keadilan, Master menyadari kesalahannya, tidak mempertimbangkan penderitaan para makhluk, hanya mementingkan kepuasan lidah. Master berkata penderitaan yang dialaminya sekarang akibat perbuatannya di masa lalu, karena telah memahami akan hukum karma, maka dia bersukacita melunasi hutangnya, bertobat dan memperbaiki diri, penderitaan yang harus dijalani, setelah berlalu berarti telah melunasi sejumlah hutang, ini yang disebut “ikhlas menerima dan menyelesaikan penderitaan”. Bila kita ikhlas menerima satu bagian penderitaan berarti telah menguraikan satu bagian penderitaan.


Master juga mengajari nya untuk membaca sutra dan melafal Amituofo untuk memutar kekuatan karma, dengan jasa kebajikan dari membaca sutra dan melafal Amituofo, menguraikan semua karma buruk. Kekuatan dari melafal Amituofo ibarat panas matahari, karma buruk ibarat es beku, panas mentari dapat mencairkan es beku sehingga menjadi “air jasa kebajikan”, semakin tulus melafal Amituofo maka suhu panas mentari semakin meninggi, es beku juga akan semakin cepat mencair. Penderitaan yang mulanya begitu berat dan tersiksa, namun setelah melalui kekuatan hati yang melafal Amituofo, dengan segera dan mudah jadi terurai, tereliminasi!


Semakin ikhlas dan bersukacita menerima hukuman ini, musuh kita yang melihat ini juga akan segera mengurai permusuhan, sebaliknya bila kita tidak ikhlas membayar hutang, penagih hutang pun semakin emosi, amarah pun semakin menjadi-jadi! Kita harus bisa memahami perasaan orang lain. Andaikata saja orang lain yang berhutang pada anda, ketika jatuh tempo anda pergi menagihnya, kemudian orang itu mengeluh bahwa membayar hutang itu sungguh menderita dan tak ikhlas melunasi nya, bagaimana perasaan anda? Tentu saja anda merasa orang ini tidak memiliki aturan, anda tentu ingin melimpahkan lagi bunga hutang supaya merasa puas. Sebaliknya bila si penghutang begitu rajin dan tekun, serta bersukacita segera melunasi hutangnya pada anda, bukankah kita juga tak ingin mendesaknya bukan? Dalam kebersamaan dengan makhluk lain, adalah “dengan pikiran saling mempengaruhi satu sama lainnya”, yakni pikiran kita dapat mempengaruhinya, pikirannya juga dapat menggerakkan pikiranku, maka itu kita harus menggunakan pikiran yang baik, hati yang bersukacita dan maitri karuna, untuk menuntun pikiran maitri karuna dan sukacita insan lain.


Dikutip dari Ceramah Master Dao-zheng :
Kelompok Gangster Berubah Menjadi Pesamuan Kolam Teratai