Selasa, 29 Oktober 2013

Menebar Senyum 02


Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Kisah Chen Jin-chi
Bagian 2

Upasaka Chen juga seperti kita pada umumnya adalah orang awam, hanya saja dia orangnya baik dan ramah, kehidupannya teratur,  memperlakukan orang lain dengan tulus, tak peduli terhadap orang lain maupun keluarganya tidak pernah murka dan berkata kasar. Hanya saja kemudian dia memiliki hobi makan seafood dan kepiting; ada orang yang melihat bentuk tumor di punggung belakangnya dan berkata : “Seperti kepiting, ada kakinya lagi”. Dia sama dengan orang awam lainnya, selalu merisaukan jika dirinya tidak cukup gizi, maka itu tidak sudi melepaskan makanan daging. Ketika sel kanker limfoma menekan saraf-saraf di pembuluh darah tangan kanannya, dia kesakitan sampai mati rasa, dia seperti anak-anak mengatakan kepadaku, tangannya sakit dan kaku, sulit untuk bergerak.

Saya berkata padanya : “Sekarang anda baru menyadari betapa menderitanya jika tangan kesakitan. Coba renungkan kembali, ketika kita makan kepiting, apakah kita pernah memikirkan penderitaannya, saat kakinya diikat, kemudian kita mencabut tangan dan kakinya, sesungguhnya dia amat menderita, apakah kita mengetahui dia sedang menangis? Kita harus belajar dari penderitaan ini, kemudian membangkitkan maha maitri maha karuna, semoga semua makhluk, janganlah karena nafsu makan saya sehingga harus menderita dan kesakitan. Semoga kita dapat serupa dengan Buddha, mencabut penderitaan semua makhluk”. Mendengar ucapanku, airmatanya berlinang kemudian dia menganggukkan kepalanya.     
 

Kemudian dia berkata lagi padaku : “Sewaktu dirawat di rumah sakit, suatu hari di tengah malam, hujan amat deras, dia mendengar ada suara yang ingin menangkapnya, sehingga dia amat menderita dan tidak dapat tidur, untunglah ikan yang pernah saya lepas datang menolongku”. Setelah dia meninggal dunia, kami menemukan buku hariannya di rumah sakit yang salah satu kalimatnya tertulis : “Semua makhluk memiliki saling keterkaitan, bila anda melindunginya, maka dia juga akan datang menolong dirimu, maka itu melepaskan satwa ke alam bebas itu amat penting, setelah keluar dari rumah sakit, saya akan melepaskan satwa lagi”.

Banyak insan yang telah melafal Amituofo untuk kurun waktu yang lama, namun tidak memiliki keyakinan untuk terlahir ke Alam Sukhavati, selalu merisaukan apakah dirinya sendiri akan berhasil terlahir atau tidak, selalu merasa ragu, tidak percaya bahwa diri sendiri memiliki Jiwa KeBuddhaan, tidak sudi memastikan bahwa Buddha Amitabha yang maha maitri maha karuna tentu takkan mengabaikan diriku. Banyak orang yang akan terpikir : “Saya memiliki banyak kelemahan, tidak serius melatih diri, melatih Amituofo juga jarang, tidak seperti guru sesepuh yang sehari melafal 80 ribu atau 100 ribu lafalan. Saya takut sakit, menjelang ajal apakah akan kesakitan? Apakah saya akan koma? Yang pasti banyak sekali hal yang dirisaukannya.


Pandangan kita selalu dijatuhkan ke dalam pandangan orang awam, yang berpihak pada rintangan karma, maka itu merasa tidak mungkin bisa berhasil terlahir ke Negeri Buddha; kita selalu menempatkan koin di depan pupil mata kita, sehingga cukup untuk menutupi cahaya mentari yang menyinari seluruh dunia. Andaikata kita sudi mengarahkan pandangan kita ke mentari yang terang, angkasa yang luas, sehingga walaupun seribu bahkan sepuluh ribu koin juga tidak dapat menutupi cahaya mentari, juga tidak dapat menghasilkan halangan apapun. Kita selalu menggunakan penutup untuk melihat mentari, demikian juga menggunakan rintangan karma untuk melihat Cahaya Buddha. Keyakinan, tekad dan pengamalan hanyalah sebuah niat pikiran dan perputaran saja. Namun jika kita tidak berhasil memutarnya, sanak keluarga dan teman-teman kita  juga dapat membantunya, sehingga kita dapat beralih dari kesakitan dan kemelekatan menjadi dituntun Cahaya Buddha.      
  

Upasaka Chen Jin-chi memiliki tubuh tinggi dan kuat, sedangkan istrinya, sejak dia jatuh sakit, harus menjaganya, terutama saat dia menjalani radioterapi dan kemoterapi, sungguh sibuk dan lelah, menjadi kurus dan kecil. Wanita yang kurus dan kecil ini telah memerankan sebuah peranan yang mulia; dia selalu menjaga suaminya dengan tegar dan tabah. Segala jenis  obat dan makanan bergizi dimasaknya sendiri, sehingga suaminya walaupun harus menjalani radioterapi dan kemoterapi serta kurang selera makan, namun berat badannya masih bisa bertambah 2 kg. Ketika mereka berdua muncul di klinik, suster akan mencari Nyonya Chen agar sudi disuntik, karena dia kurusnya sudah seperti orang sakit, sedangkan suaminya malah dirawatnya sampai tampak begitu kuat.

Sampai saat menjelang ajal, wajah Upasaka Chen tetap berwibawa, merah merekah tidak berubah. Nyonya Chen terus memberikan ketenangan kepada suaminya, sedangkan dia sendiri hanya dapat menyerahkan kerisauannya kepada Buddha Amitabha dengan berlinangan airmata, bagi orang awam betapa sulitnya menjalani tahapan hidup ini, dia hanya dapat bersujud di hadapan Buddha, memohon bantuan dari Buddha. Asalkan tulus pasti akan berhasil!

Dapat dikatakan bahwa setiap Bhiksu, sahabat sedharma, begitu mendengar ketulusannya, pasti akan datang saling bergandengan tangan dengannya, menemaninya melewati jalan yang berliku-liku ini. Dari sini kita dapat mempelajari satu hal, bahwa dalam ketulusan dan penghormatan, yang lemah sekalipun akan menjadi kuat, jika tiada yang datang mengulurkan tangan maka Buddha sendiri yang akan datang menolong!  

Ketika seseorang telah mengerti akan jalan kehidupan dan kematian, saat kekuatan seorang manusia awam terasa begitu lemah, rendahkanlah hati memohon perlindungan dari Buddha, saat ini rasa rendah hati dan kelembutan hati muncul, barulah dapat berlindung dengan sesungguhnya pada Buddha, mengandalkanNya, barulah dapat menyandarkan diri ke dalam pelukan Buddha, terjalin dengan Buddha tanpa ada halangan lagi. Ketika “keakuan” yang begitu sulit ditaklukan menjadi begitu lemah, mengalahlah, pintu Jalan KeBuddhaan telah terbuka lebar. Seseorang yang dengan rendah hati berdoa pada Buddha, sesungguhnya sedang membangkitkan kebajikan di dalam hatinya. Kekuatan dari ketulusan doa ini tak terhingga dan tak terbayangkan, sehingga para Buddha dan Bodhisattva serta siapa saja juga tidak sanggup menolaknya.  

Dikutip dari : Ceramah Master Dao Zheng
Judul :  Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika